Jumat, 25 November 2011

SENI TATO TRADISIONAL NYARIS PUNAH
Padang, Sebelum seni tato (seni lukis rajah tubuh) suku terasing di Kepulauan Mentawai (sekitar 110 km arah Barat dari garis pantai Sumatera Barat) punah, sebaiknya dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji dan mendokumentasikannya. Soalnya, tato tradisi orang Mentawai hanya merupakan karya seni seumur manusia yang memakai. “Keberadaan tato suku/orang Mentawai berbeda dengan tato sekarang (modern), yang lebih merupakan urban sub-cultures, seperti dipakai kaum muda untuk jati diri gengnya. Tato Mentawai luar biasa dan unik, memenuhi seluruh tubuh dari kepala sampai kaki dan sarat dengan simbol dan makna,” jelas Adi Rosa, pelukis dan peneliti seni rupa jebolan pascasarjana seni rupa ITB, di Padang, Senin (31/7).Hasil pencekan Kompas di Siberut, Kepulauan Mentawai Sabtu- Kamis (22-27/7), menunjukkan, generasi muda asli Mentawai tidak lagi berminat mewarisi budaya tato tersebut. Kebiasaan membuat tato sudah mulai hilang karena dilarang pemerintah tahun 1970. Hanya orang berusia 45 tahun ke atas yang bertato dan jumlahnya sekitar seribu- dua ribu (5 persen). Menurut Adi Rosa, kini dosen seni rupa IKIP Padang, tato merupakan salah satu budaya etnis tertua bangsa Indonesia yang hanya ditemui pada orang (suku) Mentawai dan Dayak. Bagi orang Mentawai, tato merupakan busana abadi yang dapat dibawa mati. Bahkan juga merupakan alat komunikasi dan status sosial. “Saya ramalkan, 10-15 tahun mendatang, tato Mentawai punah. Makanya dari sekarang harus dilakukan pendokumentasian baik secara visual maupun tertulis (dibukukan),” kata Adi, peneliti tato Mentawai. Dia mengakui, tato sebagai lukisan tubuh begitu terabaikan dari kajian-kajian seni rupa Indonesia. Buktinya, dalam buku Seni Rupa Indonesia yang diterbitkan Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1975) dan buku Sejarah Seni Rupa Indonesia yang diterbitkan melalui Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Depdikbud (1982), tidak ada membahas masalah tato di Indonesia. Dari Medan, ada kekhawatiran tarian tradisi Melayu Ahoi bisa lenyap di masa datang akibat kemajuan zaman. Hal itu dikemukakan Kepala Bidang Program Pekan Budaya Melayu (PBM) XI, Dahri Uhum, di Medan, Selasa (1/8). Dalam PBM XI, hanya lima tim yang ikut lomba, yang dijuarai kabupaten Labuan Batu, diikuti Kodya Binjai, Deli Serdang, Langkat, dan Medan. Tarian Ahoi, katanya, menghilang seiring dengan kemajuan teknologi yang melanda sampai ke pematang sawah. Orang memanen padi, telah menggunakan mesin. Padahal, tarian ini dilakukan sebagai ungkapan rasa bahagia dalam menyambut panenan yang berhasil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar